Semesta pada Berkas-Berkas Cahaya yang Melesat Melewati Kedip Matamu
/1/
Aku tidak pernah tahu kita akan berjodoh atau tidak, tetapi masa kita sudah menjadikan dini hari tak henti-hentinya untuk tak memejamkan mata. Entah waktu pada saat ini akan menjadi hal yang kita ceritakan pada malam kita nanti sebelum tidur, atau hanya menjadi suatu yang tak pernah sudi diceritakan lagi pada saat kita sudah bersama istri atau suami masing-masing. Barangkali kita sudah menjadi eksposisi yang menyatu dalam setiap kertas, kemudian menjadi paragraf yang tak berhingga, untuk diresapkan jiwamu ke dalam akhir prosa yang menyentuhkan daun-daun gugur kepada tanah.
/2/
Sudah menjadi barang tentu jika saat ini waktu menjadi terasa cepat, sejak jam yang berbunyi pada kertas yang berlipat-lipat waktu itu, kau sudah menjadi penghuni langit-langit ruanganku, dan berada jelas dibalik merah kelopak mata yang terpejam. Sayang, di balik jendela kita menggoreskan memori yang melekat dalam bunga yang mengering, yang kemudian berjatuhan di atas pasir, di hadapan perahu-perahu nelayan yang dikalungi gerimis. Sungguh, betapa tiap masa menggelayut di langit-langit kamar, betapa tiap suara menjadi titik-titik angin yang meniupkan rumput untuk kemudian diserap sejuk ke dalam tiap kursi dan meja di dalam restoran.
/3/
Pada berkas-berkas cahaya yang melesat melewati kedip matamu waktu itu, sudah terjerat semesta yang akan tetap mendidih untuk dirasakan sejuk, sudah tercetak dalam klise sebuah rasa sejuk pada kamar yang mendidih. Ketahuilah sayang, aku menjadikannya manuskrip untuk setiap masa; pada celah gelas teh hangat di atas meja; pada jarak tempatmu duduk kepada pintu rumah: pada hujan yang membasahi kepalamu kemarin sore;
/4/
Aku ingin menceritakan: Aku menjadi takut jika semalaman menjadi rabun habis-habisan, meluap melalui lubang-lubang lemari yang merapuh yang merekatkan lembab bulu-bulu matamu pada nyanyian hitam putih bagi telinga orang-orang. Aku menjadi takut, jika kemudian setiap kemungkinan bukan lagi menjadi kemudian.
(2017)